Title :
The Spy Next Door
Title chapter : Get
Closer
Author : Kim
Hyun Na a.k.a Fidya Amelia
Main cast : Huang
Zi Tao, Kim Hyun Na, Kim Jongin
Genre : Action,
Friendship, Romance
Length :
Chaptered
Disclaimer : famelia28.blogspot.com
Mwoya? Dia? Sudah… ada… yang… punya?
Entah mengapa rasanya tak karuan. Aku penasaran siapa dia. Mengapa aku jadi
begini? Hyun Na, perbaiki dulu prestasimu yang anjlok! Baru boleh memikirkan
yang lain-lain.
Chapter 2
*****
“Eomma, aku
berangkat ke sekolah!” lalu mengayuh sepedaku. Baru sampai pagar. Ada yang
sedang menunggu di depan rumah.
“Nuguya?” dan dia
menengok lalu membuka kaca helmnya.
“Ayo, naik!”
ajaknya.
“Tao! Ani. Aku
naik sepedaku saja.”
“Sudah cepat naik!
Masukkan kembali sepedamu ke dalam! Aku disuruh eomma menjemputmu karena kita
satu sekolah dan tepatnya satu bangku. Ayo! Jangan buang waktu! Cepat!”
peintahnya cepat.
“Ani. Gwaenchana!
Aku dengan sepedaku saja. Sudah duluan saja!” mengapa aku menolaknya. Aku juga
capek mengayuh tapi bagaimana lagi. Bukannya aku tak mau menolak rezeki.
Entahlah!
“Aish! Keras kepala
sekali! Ya sudah, aku duluan!” dan dia berlalu. Kulihat punggungnya mulai tak
tampak saat berbelok dari gang. Yah, aku menyia-nyiakan kesempatan! Kukayuh
sekuat tenaga sepedaku hingga sampai di halte bus dan kuparkirkan. Aku menunggu
bus yang akan kunaiki untuk sampai ke sekolah. Aku menyipitkan mataku, kulihat
di seberang jalan ada orang yang sedari tadi melihatku. Itu Tao. sedang apa
dia? Dia melihat apa? Na? Tiba-tiba…
Tuk!
Aku sudah
kelewatan bus. Huwaa! “Ahjussi! Stop!” aku berlari mengejar bus dan memanggil
supir tersebut tapi aku tak mampu mengejarnya dan lagi supir itu tak
mendengarku. Aku bersipu pada lututku dan mengatur kembali pernapasanku.
Kulihat dari samping ada yang menghentikan sepeda motornya tepat disebelahku.
“Kau mau apa
sekarang? Sudah, ayo naik!” ajaknya dengan menatapku kalah. Akhirnya aku
dibonceng tetanggaku. Ya, sudahlah! Gratisan ‘kan! Haha.
Saat aku
dibonceng, suasana begitu hening sekali padahal jalanan sangat ramai dan bisa
terbilang padat merayap. Dia mengendarai motor yang mana di tangki bensinnya
terdapat stiker panda. Bisa dibilang ini motor lelaki, tetapi mengapa ada
‘panda’ terukir di sepeda motornya. Tapi sebaiknya aku diam daripada aku
diomeli dan diturunkan ditengah jalan.
“Mengapa diam
saja?” tanyanya.
“Memangnya aku
harus bicara apa? Kau ‘kan sedang fokus menyetir.” Celetukku.
Sampai di sekolah,
kami diam seribu bahasa.
“Tumben kamu diam
seharian?” tanyanya ingin tahu. Kangen sama cerewetku, ne? Batinku dengan
tersenyum kegeeran.
“Ah, jinjja?”
tanyaku balik ingin tahu apa tanggapannya.
“Gwaenchanayo?”
menanyakan keadaanku.
“Ne. Nan
gwaenchana.” jawabku yang tak paham mengapa dia menanyakan seperti itu. Apa aku
tampak pucat? Baiklah, dari dulu semua orang mengatakan bahwa aku selalu pucat
seperti mayat hidup. Tapi bukan zombie. Vampire saja, ne?
“Apa karena tadi
aku bonceng?” mendadak dia menanyakan hal tersebut.
Aku terkejut
mendengar pertanyaan satu ini. Tiba-tiba aku teringat dengan kejadian kemarin.
Aku menjawabnya lama, “Mwo? Ani.”
“Arasso. Lalu mengapa
diam? Sekarang pun kau masih diam.” Tanyanya memberonta.
Aku terdiam sesaat
lalu membernikan diriku untuk bertanya.
“Bukankah kau
sudah punya pacar?” tanyaku hati-hati.
“Mwo? Pacar?”
mengapa dia terkejut?
“Kemarin tak
sengaja di atap rumah kau berbicara dengan seseorang yang kau sebut ‘Baby’.
Mianhae, aku tak sengaja mendengarnya. Dan mianhae menanyakan ini. Tapi apa tak
apa jika kau memboncengku seperti tadi? Bagaimana jika dia melihat? Aku tak mau
disalahkan!” jelasku yang tak terpikirkan olehku menanyakan hal itu.
“Mwo? N…neo? Kau
mendengar pembicaraan kami?” matanya membesar dan mengarahkannya padaku. Aku
semakin takut dibuatnya.
“Mianhae!” sesalku
menanyakan hal itu.
“Hahaha. Kau
cemburu, ya?” tiba-tiba raut wajahnya berubah menggodaku. Aku jadi semakin
takut. Takut akan menjawab apa.
“Ani. Kan aku
sudah bilang kalau aku tak mau disalahkan bila pacarmu melihat kita
berboncengan.” jawabku kebingungan dan anehnya dia terus menggodaku sampai muka
pucatku berubah menjadi merah karena malu.
“Sudah, tidak
apa-apa. Baby ku tidak akan marah. Meskipun dia tegas. Dia tahu mana gadis yang
akan merebutku dengan yang tidak.” Sambil mengelus punggungku.
“Bagaimana dia
bisa tahu?” tanyaku bingung.
“Pertama, dilihat
dari posturmu kau bukanlah tipe perebut karena kau kalah ehmm… dengan babyku.”
Dia menyipitkan matanya dan tangannya menggaris lekuk tubuhku menyindir dengan
kata ‘ehm’ yang dapat kuartikan bahwa itu adalah kata ‘cantik’.
“Mwoya?” aku tak
terima.
“Kedua, dia punya
indra keenam. Jadi dia tahu aku dengan siapa.” Jelasnya dengan pasti.
“Jinjja? Hebat
sekali pacarmu!” aku tak percaya bahwa dia benar-benar sudah punya pacar
terlebih memiliki kekuatan yang sangat menakjubkan. Rasanya sudah penuh hatinya
dengan gadis itu.
*****
Keesokan harinya
dia menjemputku lagi. Dan aku yang punya harga diri menolak tawarannya
mentah-mentah meskipun dalam hati kecilku juga mau. Tapi apa boleh buat. Dan
kejadian yang sama terulang lagi. Aku ketinggalan bus. Mengapa bisa? Akhirnya
aku dibonceng lagi olehnya. Aish! Aku hanya berharap, “Jangan salahkan aku!”.
Begitupun dengan keesokannya.
Tanpa sengaja
terlintas dibenakku. Aku keluar rumah pagi sekali dan menyelinap masuk ke
halaman rumah Tao. Aku menghampiri sepeda motornya yang tengah parkir. Dengan
membawa paku berukuran besar, aku mengempeskan bannya. “Mianhae!” bisikku agar
tak ketahuan. Setelah itu aku kembali ke rumahku.
Saat aku membuka
pagarku, kulihat Tao berdiri di sana. Mau apa dia?
“Mianhae! Aku tak
bisa mengantarmu.” Aku heran mengapa dia minta maaf. Aku teringat lagi apakah
ide jahilku tadi berhasil. Aku menutupi kejahilanku saat itu. Sekarang aku
bagai artis antagonis di hadapannya. Hahaha. Evil smile tertancap di lubuk
hatiku.
“Gwaenchana. Aku
sudah membawa sepeda, ‘kan?” jawabku santai sambil menunjukkan sepedaku padanya.
“Seandainya banku
tidak bocor, sekarang aku bisa mengantarmu. Begini saja, biar aku yang
memboncengmu dengan sepedamu, ne?” sesalnya yang dilanjutkan dengan tak habis
pikirku dengan ucapannya.
“Mwo? Kau ‘kan
tinggi besar. Nanti banku ikut kempes bagaimana? Ini saja sudah waktunya
dipompa. Mian, aku tidak bisa. Mian lagi, aku harus berangkat dulu. Dan
untukmu, mazeltov!” kukayuh sepedaku sekencang mungkin memastikan dia tak
mengejarku. Jahat sekali diriku. Yang kulakukan tadi itu parah sekali. Sekarang
bagaimana dia? Bagaimana caranya dia bisa sampai ke sekolah? Halte bus ‘kan
masih jauh. Mianhae!
Tao POV
Wolf geurae
wolf naega wolf auuuu…
“Yeoboseyo?”
jawabku yang masih mengantuk yang mana ternyata sudah mulai pagi. Anggap saja
telepon ini alarm.
“Yah,
bangunlah! Sudah pagi.” teriak Kris dalam telepon.
“Mwo? Ne. Aku
sudah bangun, hyung. Ada apa?” tanyaku kesal yang telah membangunkan wolf dari
tidurnya. Ingin rasanya kau kuterkam, hyung!
“Apa kau tahu
jika Chen sudah bebas dari penjara?” tanyanya.
“Bagaimana bisa?”
tanyaku balik.
“Kurasa ada
orang dalam yang membebaskannya.” jelasnya singkat.
“Mwo? Berarti EXO
agency sudah kebobolan? Tapi siapa?” tanyaku ingin tahu.
“Sepertinya.”
jawaban yang tak seharusnya kau lontarkan, hyung.
“Oh, iya.
Bisakah kau membuka file XOXO yang diincar Chen cs di komputermu? Karena disini
punyaku sudah diblokir. Mungkin di komputermu bisa.” pintanya.
“Aku akan
berangkat sekolah sekarang. Nanti saja ya, jika aku ingat. Hehe. Kau bisa
menunggu ‘kan? Ah, ne! Bagaimana kabar Eurung?” tanyaku mengalihkan perhatian.
“Baik. Lalu
Baby mu bagaimana?”, tanyanya balik.
“Ah, baik juga.
Sangat baik. Kau kan tahu aku selalu menjaganya dengan baik. Aku akan bersiap
ke sekolah. Kita sudahi saja, ya? Oh ya, mian jika aku tak bisa berbuat banyak!”
putusku.
“Ne, arayo!
Hwaiting belajar, ne!” lalu memutuskan percakapan.
*****
Bruuumm….
Mwo? Wae?
Bagaimana bisa? Eotteokke? Yah, bagaimana caraku mengantarkan Hyun Na? Apakah
ada yang mengerjaiku? Tapi siapa?
“Appa! Ban motorku
kenapa bisa kempes dua-duanya? Bagaimana ceritanya bisa bocor?” rengekku pada
appa.
“Yah, itu ‘kan
motormu. Appa mana tahu. Naik bus saja sana! Sepulang sekolah kau bawa ke
bengkel!” jawab Appa enteng sembari menyeruput secangkir teh hangat.
“Berarti hari ini
kau tak bisa mengantarkan Hyun Na. Ah, bagaimana kalau kau yang membonceng
dengan sepedanya?” celetuk eomma yang duduk di samping appa.
“Mengapa eomma
selalu menyuruhku mengantarnya? Aku ‘kan bukan tukang ojeknya.” Protesku pada
eomma.
“Ish, kau ini
belum mengerti juga. Berkali-kali dibilangi, kalau kita itu tetangga. Jadi
wajar kalau saling membantu. Dan terlebih kau teman sekolahnya. Apa pantas
melihat dia mengendarai sepedanya sendiri? Lagipula, sekali sekali lah kau
berteman dengan perempuan. Temanmu selalu laki dan anehnya kau bermain boneka.
Eomma curiga, jangan-jangan anak eomma…” selidiknya padaku.
“Eomma! Kenapa
eomma curigaan? Kau tak memercayai anak lelaki paling jantanmu ini?”
“Ani. sudah sana
berangkat!” celetuknya tiba-tiba mengusir.
“Kalian berdua
ini! Ckckck… biarkanlah saja dia. Yang penting ‘kan dia tak berbuat onar.”
sahut appa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Baiklah, aku
berangkat sekolah dulu.” Sambil berlalu.
*****
Aku menunggu Hyun Na di depan
rumahnya. Saat ia membuka pagar…
“Mianhae! Aku tak
bisa mengantarmu.”
“Gwaenchana. Aku
sudah membawa sepeda ‘kan?” jawabnya santai sambil menunjukkan sepedanya
padaku.
“Seandainya banku
tidak bocor, sekarang aku bisa mengantarmu. Begini saja, biar aku yang
memboncengmu dengan sepedamu, ne?” kulakukan sesuai perkataan eomma.
“Mwo? Kau ‘kan
tinggi besar. Nanti banku ikut kempes bagaimana? Ini saja sudah waktunya
dipompa. Mian, aku tidak bisa. Mian lagi, aku harus berangkat dulu. Dan
untukmu, mazeltov!” dia mengayuh sepedanya dan meninggalkanku sendiri. Mwo? Ada
yang aneh dengannya.
“Yah, Hyun Na! kau
yang mengempeskan banku, ya?” teriakku padanya tapi dia sepertinya tak
mendengarku. Tak habis pikir aku olehnya. Mengapa dia lakukan itu? Hah! Kau
ingin mempermainkanku, ya! Apa sih yang ada di pikirannya?
Aku melihat
sekitarku. Tak ada kendaraan yang bisa kunaiki, setidaknya sampai halte bus.
Sekarang bagaimana aku bisa sampai ke sekolah tanpa terlambat? Aku berpikir
sejenak.
Ding!
Hahaha… evil smile
terpaut di wajahku. Aku mengerti apa yang akan aku lakukan. Dan segera saja aku
bertindak. Dia pikir bisa mengelabuhiku semudah itu, huh? Tidak bila denganku.
Nehi!
Hyun Na POV
Semoga dia tidak
terlambat ke sekolah. Hanya itu yang bisa kulakukan untuknya. Berdoa. I’m free.
Tapi bagaimana caranya? Halte bus ‘kan bisa terbilang jauh. Sudahlah, Hyun Na!
Dia ‘kan lelaki, biar saja dia pakai logikanya. Aku ingin tahu apa yang akan
dia lakukan.
Tuk!
“Hyun Na!
Berhenti!” ada yang berteriak memanggilku dan segera kuhentikan kayuhanku.
Kutengok siapa yang memanggilku. Sepertinya aku familiar dengannya. Kulihat dia
berlari menghampiriku. Kusipitkan mataku. Apa aku tidak salah lihat? Mwo?
Bagaimana bisa? Kurasa aku sudah mengayuh sepedaku lebih jauh. Tapi mengapa dia
bisa mengejarku? Aku ber a o a o ria melihatnya. Aku harus kagum atau heran
atau takut atau… tak bisa kupercaya dia berlari 1 km mengejarku. Kuat juga dia.
Pantas dia tumbuh sebesar itu. Kurasa aku harus melakukannya juga.
“Yah, kenapa kau
meninggalkanku? Wae? Aku tahu kau yang mengempeskan banku?” selidiknya sambil
terengah-engah setelah berlari. Aku terkejut dibuatnya. Apa yang harus
kukatakan.
“Yah, mana
mungkin. Apa aku tampak sejahat itu?” bingung apa yang harus kukatakan.
“Sudahkah? Kau hanya
ingin menanyakan itu saja ‘kan? Baiklah, aku duluan!” tambahku dan baru saja
akan kukayuh tapi dia telah menarik sepedaku.
“Yah, mau kemana
kau? Melarikan diri lagi? Aku sudah berlari sejauh ini untuk mengejarmu dan
sekarang kau meninggalkanku lagi?” tegasnya padaku yang langsung membuatku
tertunduk padanya karena merasa bersalah.
Dia menarik
sepedaku dan dia yang memboncengku. Aku terdiam sepanjang jalan karena takut
dimarahi lagi olehnya. Bagaimana tidak, muka seram itu muncul lagi. Aku lunglai
dan tak berdaya menatapnya. Aku tertunduk lesu. Mianhae!
Saat di bus, aku
juga masih terdiam. Aku tak berani menatapnya. Kesalahan yang kuperbuat
sepertinya belum bisa hilang dalam benakku. Mataku hanya bisa menatap ke arah
bawah. Ingin sekali kukatakan, ‘mianhae!’.
“Mianhae!”
tiba-tiba kami mengucapkan itu bersamaan dan membuat seluruh penumpang bus
melihat kami. Aku langsung tertunduk malu.
Tapi mengapa kau
minta maaf? Kami terdiam sejenak lagi.
“Mianhae! Aku tak
bermaksud melakukannya.” sesalku.
“Ne, gwaenchana.
Aku mengerti.” balasnya. Mengerti apa kau? Kan aku belum menjelaskan apapun?
“Lalu mengapa tadi
kau meminta maaf?” tanyaku balik padanya.
“Mian, mungkin kau
tak suka kujemput. Dan seharusnya aku bisa menolak perintah eomma.” jelasnya
menyesal.
“Perintah
ahjumma?” aku terkejut mendengarnya.
“Ne.” balasnya
singkat.
“Wah, berarti aku
terikat kontrak dengan perintah eomma mu?” tanyaku.
“Mwo? Kenapa kau
bisa berpikiran seperti itu?” ia mengernyitkan keningnya mendengar
pertanyaanku.
“Perintah ibu itu
harus dilaksanakan. Dan aku tak mau kau menjadi durhaka hanya karena aku tak
mau kau jemput.” terangku.
“Hah! Kurasa kali
ini kau sangat senang bila kujemput bila tahu itu perintah ibuku.” senyum yang
tampak tersungging di bibirnya.
“Ani. Sebenarnya
masih ada yang mengganjal.”
“Apa?” tanyanya
penasaran.
“Aku masih tak
enak dengan pacarmu.” Mendengar jawabanku sepertinya ada yang salah. Ia selalu
menertawaiku.
“Nugu? Baby?
Hahahah…” dia menertawaiku sampai terkekeh hingga membuatnya sakit perut.
“Wae? Mengapa kau
selalu tertawa? Apa aku salah? Aku tahu meskipun baby tak mungkin mencurigaiku
tapi tetap saja aku tak enak padanya.” jelasku yang membuatnya masih terkekeh.
“Yah, hentikan!
Orang-orang melihatmu terkekeh lepas seperti itu membuatku khawatir. Yah!” aku
melihat orang-orang dan hanya bisa tersenyum sinis pada mereka semua seakan
mengatakan ‘maafkan temanku ini!’.
“Arkh akh…” dia
menghentikan tertawanya tapi ia memegangi perutnya. Sepertinya dia sakit.
“Gwaenchanayo?”
aku khawatir melihatnya yang sekarang.
“N ne. nan
gwaenchana. Auch…!” ia memegangi perutnya lagi.
“Neo gwaenchana?”
tanyaku lagi yang tak bisa berbuat apa-apa.
Ia menarik
napasnya lalu menghembuskannya kembali. Ia membuatku takut. Sekolah hampir
sampai. Ada apa dengannya?
“Yah! Gara-gara
kau, aku berlari sejauh itu lalu aku mengayuh dan memboncengmu. Aku sudah lama
tak berolahraga dan kau mengejutkanku dengan tingkahmu. Lucu sekali kau! Kau
pikir kau siapa berani berbuat seperti itu padaku?” tatapnya dengan
menginterogasiku dan membuatku memundurkan dudukku.
“Mianhae!” aku
menyesal dan menundukkan kepalaku lagi padanya.
*****
Hampir semua
pelajaran yang membutuhkan kegiatan kelompok membuatku sering berkelompok
dengan Tao. Dan baru-baru ini, aku mendapat tugas kelompok Bahasa Jerman hanya
berdua dengannya. Karena Frau Riri menginginkan tiap kelompok tiap bangku. Dan
tugas itu dijadikan pekerjaan rumah.
Aku ada di atap
rumah lagi dan ada orang yang mengejutkanku. Ia memanggilku. Dan orang itu tak asing
bagiku. Ya, dia adalah Tao.
“Yah,
Hyun Na! Sedang apa kau disana?” tanyanya agak berteriak karen kami ada di atap
rumah kami masing-masing.
“Ani.
Tidak ada.” balasku singkat.
“Uhmm... bagaimana jika kita mengerjakan tugas kelompok Bahasa Jerman
sekarang saja?” tawarnya bersemangat.
“Jigeum?”
tanyaku tak menyangka.
“Ne.
Wae? Kau ingin menunda pekerjaan?” jelasnya.
“Ani.”
Jawabku singkat.
“Baiklah.
Kajja! Cepat kemari!”
“Ne.”
Aku membalikkan badanku untuk turun dan ke rumahya.
“Yah
yah yah! Mau kemana kau? Disini saja. Lewat atap.” Teriaknya menarikku kembali
dalam percakapan.
“Mwo?
Kau menyuruhku menyeberangi atap dan itu artinya aku ke rumahmu lewat atas? Dan
yang kutahu, kamarmu ada di atas. Apa kata orang jika aku mendatangi rumah
orang lewat loteng dan lagi itu di kamar namja?” pikirku cepat.
“Ani.
Aku tidak mau. Aku akan turun meminta izin eomma lalu ke rumahmu dengan
membunyikan bel rumahmu. Ne? Otte! Aku turun dulu.” tambahku.
“Pintar!
Itu namanya anak gadis yang baik. Baik, aku tunggu di bawah.”
Ting
tong!
“Ah,
ahjumma! Annyeong haseyo! Taonya ada?” sapaku pada eommanya Tao.
“Annyeong!
Iya, ayo masuk! Tao sudah tidak sabar menunggumu di dalam.” Sambil mengantarku
masuk ke ruang tamu.
“Tao,
kau sudah bawa motormu ke bengkel?” tanya ahjumma pada Tao yang sedang menuruni
anak tangga.
“Ah,
ne eomma. Aku lupa. Lagipula aku baru pulang sekolah.”
“Bawa
ke bengkel dulu sana! Sebelum bengkelnya tutup. Cepat!” perintah ahjumma.
“Tapi
eomma! Ada Hyun Na disini. Aku mau kerja kelompok.” Sepertinya ia ingin menolak.
“Sudah
bawa dulu ke bengkel! Kurasa Hyun Na bisa menunggu. Iya ‘kan Hyun Na?” tanya
ahjumma padaku.
“Ah,
ne ahjumma.” jawabku.
“Yah,
appa!” rengek Tao pada eommanya.
“Huh!
Ne. Aku berangkat. Hyun Na, kau bisa ambil laptopku di kamar untuk mengerjakan
tugasnya.” Pinta Tao padaku.
“Ah?
N ne.” jawabku ragu.
Setelah
Tao pergi dari rumah...
“Ahjumma,
permisi! Dimana aku bisa mengambil laptop Tao? Yang katanya sih ada di kamar.”
izinku ragu.
“Ya
di kamarnya. Di atas. Ehm... eits... chakkaman! Kau gunakan komputernya saja
itu! Dia jarang sekali menggunakan komputer. Kasihan bila komputernya jarang
dibuka!” sambil menunjukkan komputer yang ada di ruang santai keluarga dekat
televisi.
“Ah,
ne ahjumma.” dan langsung menuju tempat duduk meja komputernya.
“Ah,
Hyun Na! Ahjumma mau keluar dulu! Sebentar saja. Tolong jaga rumah ahjumma, ya!
Ahjumma, mau ke rumahmu dulu untuk menemui eommamu. Biasa eommareul arisan.
Ne?” pintanya yang tak habis kupikir.
“Ah,
ne.” balasku.
Yah,
aku ditinggal sendirian di rumah yang mana bukan rumahku. Yah, appo keluarga
ini! Setelah kunyalakan komputernya. Ada yang beda. Mengapa bentuknya beda dari
komputer biasanya? Apa ini? Yah, kemana semua orang? Password? Bagaimana ini?
746589O991579N9175D908251A19109-T9571-A97386P61086110011111116A865101
Put
the password below:
_
_ _ _ _ _ _ _
>>> To Be Continued <<<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar