Jumat, 31 Januari 2014

The Spy Next Door (Chapter 2)


Title                 : The Spy Next Door
Title chapter    : Get Closer
Author             : Kim Hyun Na a.k.a Fidya Amelia
Main cast         : Huang Zi Tao, Kim Hyun Na, Kim Jongin
Genre              : Action, Friendship, Romance
Length             : Chaptered
Disclaimer       : famelia28.blogspot.com

Mwoya? Dia? Sudah… ada… yang… punya? Entah mengapa rasanya tak karuan. Aku penasaran siapa dia. Mengapa aku jadi begini? Hyun Na, perbaiki dulu prestasimu yang anjlok! Baru boleh memikirkan yang lain-lain.

Chapter 2

*****


            “Eomma, aku berangkat ke sekolah!” lalu mengayuh sepedaku. Baru sampai pagar. Ada yang sedang menunggu di depan rumah.
            “Nuguya?” dan dia menengok lalu membuka kaca helmnya.
            “Ayo, naik!” ajaknya.
            “Tao! Ani. Aku naik sepedaku saja.”
            “Sudah cepat naik! Masukkan kembali sepedamu ke dalam! Aku disuruh eomma menjemputmu karena kita satu sekolah dan tepatnya satu bangku. Ayo! Jangan buang waktu! Cepat!” peintahnya cepat.
            “Ani. Gwaenchana! Aku dengan sepedaku saja. Sudah duluan saja!” mengapa aku menolaknya. Aku juga capek mengayuh tapi bagaimana lagi. Bukannya aku tak mau menolak rezeki. Entahlah!
            “Aish! Keras kepala sekali! Ya sudah, aku duluan!” dan dia berlalu. Kulihat punggungnya mulai tak tampak saat berbelok dari gang. Yah, aku menyia-nyiakan kesempatan! Kukayuh sekuat tenaga sepedaku hingga sampai di halte bus dan kuparkirkan. Aku menunggu bus yang akan kunaiki untuk sampai ke sekolah. Aku menyipitkan mataku, kulihat di seberang jalan ada orang yang sedari tadi melihatku. Itu Tao. sedang apa dia? Dia melihat apa? Na? Tiba-tiba…
            Tuk!
            Aku sudah kelewatan bus. Huwaa! “Ahjussi! Stop!” aku berlari mengejar bus dan memanggil supir tersebut tapi aku tak mampu mengejarnya dan lagi supir itu tak mendengarku. Aku bersipu pada lututku dan mengatur kembali pernapasanku. Kulihat dari samping ada yang menghentikan sepeda motornya tepat disebelahku.
            “Kau mau apa sekarang? Sudah, ayo naik!” ajaknya dengan menatapku kalah. Akhirnya aku dibonceng tetanggaku. Ya, sudahlah! Gratisan ‘kan! Haha.
            Saat aku dibonceng, suasana begitu hening sekali padahal jalanan sangat ramai dan bisa terbilang padat merayap. Dia mengendarai motor yang mana di tangki bensinnya terdapat stiker panda. Bisa dibilang ini motor lelaki, tetapi mengapa ada ‘panda’ terukir di sepeda motornya. Tapi sebaiknya aku diam daripada aku diomeli dan diturunkan ditengah jalan.
            “Mengapa diam saja?” tanyanya.
            “Memangnya aku harus bicara apa? Kau ‘kan sedang fokus menyetir.” Celetukku.
            Sampai di sekolah, kami diam seribu bahasa.
            “Tumben kamu diam seharian?” tanyanya ingin tahu. Kangen sama cerewetku, ne? Batinku dengan tersenyum kegeeran.
            “Ah, jinjja?” tanyaku balik ingin tahu apa tanggapannya.
            “Gwaenchanayo?” menanyakan keadaanku.
            “Ne. Nan gwaenchana.” jawabku yang tak paham mengapa dia menanyakan seperti itu. Apa aku tampak pucat? Baiklah, dari dulu semua orang mengatakan bahwa aku selalu pucat seperti mayat hidup. Tapi bukan zombie. Vampire saja, ne?
            “Apa karena tadi aku bonceng?” mendadak dia menanyakan hal tersebut.
            Aku terkejut mendengar pertanyaan satu ini. Tiba-tiba aku teringat dengan kejadian kemarin. Aku menjawabnya lama, “Mwo? Ani.”
            “Arasso. Lalu mengapa diam? Sekarang pun kau masih diam.” Tanyanya memberonta.
            Aku terdiam sesaat lalu membernikan diriku untuk bertanya.
            “Bukankah kau sudah punya pacar?” tanyaku hati-hati.
            “Mwo? Pacar?” mengapa dia terkejut?
            “Kemarin tak sengaja di atap rumah kau berbicara dengan seseorang yang kau sebut ‘Baby’. Mianhae, aku tak sengaja mendengarnya. Dan mianhae menanyakan ini. Tapi apa tak apa jika kau memboncengku seperti tadi? Bagaimana jika dia melihat? Aku tak mau disalahkan!” jelasku yang tak terpikirkan olehku menanyakan hal itu.
            “Mwo? N…neo? Kau mendengar pembicaraan kami?” matanya membesar dan mengarahkannya padaku. Aku semakin takut dibuatnya.
            “Mianhae!” sesalku menanyakan hal itu.
            “Hahaha. Kau cemburu, ya?” tiba-tiba raut wajahnya berubah menggodaku. Aku jadi semakin takut. Takut akan menjawab apa.
            “Ani. Kan aku sudah bilang kalau aku tak mau disalahkan bila pacarmu melihat kita berboncengan.” jawabku kebingungan dan anehnya dia terus menggodaku sampai muka pucatku berubah menjadi merah karena malu.
            “Sudah, tidak apa-apa. Baby ku tidak akan marah. Meskipun dia tegas. Dia tahu mana gadis yang akan merebutku dengan yang tidak.” Sambil mengelus punggungku.
            “Bagaimana dia bisa tahu?” tanyaku bingung.
            “Pertama, dilihat dari posturmu kau bukanlah tipe perebut karena kau kalah ehmm… dengan babyku.” Dia menyipitkan matanya dan tangannya menggaris lekuk tubuhku menyindir dengan kata ‘ehm’ yang dapat kuartikan bahwa itu adalah kata ‘cantik’.
            “Mwoya?” aku tak terima.
            “Kedua, dia punya indra keenam. Jadi dia tahu aku dengan siapa.” Jelasnya dengan pasti.
            “Jinjja? Hebat sekali pacarmu!” aku tak percaya bahwa dia benar-benar sudah punya pacar terlebih memiliki kekuatan yang sangat menakjubkan. Rasanya sudah penuh hatinya dengan gadis itu.

*****

            Keesokan harinya dia menjemputku lagi. Dan aku yang punya harga diri menolak tawarannya mentah-mentah meskipun dalam hati kecilku juga mau. Tapi apa boleh buat. Dan kejadian yang sama terulang lagi. Aku ketinggalan bus. Mengapa bisa? Akhirnya aku dibonceng lagi olehnya. Aish! Aku hanya berharap, “Jangan salahkan aku!”. Begitupun dengan keesokannya.
            Tanpa sengaja terlintas dibenakku. Aku keluar rumah pagi sekali dan menyelinap masuk ke halaman rumah Tao. Aku menghampiri sepeda motornya yang tengah parkir. Dengan membawa paku berukuran besar, aku mengempeskan bannya. “Mianhae!” bisikku agar tak ketahuan. Setelah itu aku kembali ke rumahku.
            Saat aku membuka pagarku, kulihat Tao berdiri di sana. Mau apa dia?
            “Mianhae! Aku tak bisa mengantarmu.” Aku heran mengapa dia minta maaf. Aku teringat lagi apakah ide jahilku tadi berhasil. Aku menutupi kejahilanku saat itu. Sekarang aku bagai artis antagonis di hadapannya. Hahaha. Evil smile tertancap di lubuk hatiku.
            “Gwaenchana. Aku sudah membawa sepeda, ‘kan?” jawabku santai sambil menunjukkan sepedaku padanya.
            “Seandainya banku tidak bocor, sekarang aku bisa mengantarmu. Begini saja, biar aku yang memboncengmu dengan sepedamu, ne?” sesalnya yang dilanjutkan dengan tak habis pikirku dengan ucapannya.
            “Mwo? Kau ‘kan tinggi besar. Nanti banku ikut kempes bagaimana? Ini saja sudah waktunya dipompa. Mian, aku tidak bisa. Mian lagi, aku harus berangkat dulu. Dan untukmu, mazeltov!” kukayuh sepedaku sekencang mungkin memastikan dia tak mengejarku. Jahat sekali diriku. Yang kulakukan tadi itu parah sekali. Sekarang bagaimana dia? Bagaimana caranya dia bisa sampai ke sekolah? Halte bus ‘kan masih jauh. Mianhae!
Tao POV
            Wolf geurae wolf naega wolf auuuu…
            “Yeoboseyo?” jawabku yang masih mengantuk yang mana ternyata sudah mulai pagi. Anggap saja telepon ini alarm.
            “Yah, bangunlah! Sudah pagi.” teriak Kris dalam telepon.
            “Mwo? Ne. Aku sudah bangun, hyung. Ada apa?” tanyaku kesal yang telah membangunkan wolf dari tidurnya. Ingin rasanya kau kuterkam, hyung!
            “Apa kau tahu jika Chen sudah bebas dari penjara?” tanyanya.
            “Bagaimana bisa?” tanyaku balik.
            “Kurasa ada orang dalam yang membebaskannya.” jelasnya singkat.
            “Mwo? Berarti EXO agency sudah kebobolan? Tapi siapa?” tanyaku ingin tahu.
            “Sepertinya.” jawaban yang tak seharusnya kau lontarkan, hyung.
            “Oh, iya. Bisakah kau membuka file XOXO yang diincar Chen cs di komputermu? Karena disini punyaku sudah diblokir. Mungkin di komputermu bisa.” pintanya.
            “Aku akan berangkat sekolah sekarang. Nanti saja ya, jika aku ingat. Hehe. Kau bisa menunggu ‘kan? Ah, ne! Bagaimana kabar Eurung?” tanyaku mengalihkan perhatian.
            “Baik. Lalu Baby mu bagaimana?”, tanyanya balik.
            “Ah, baik juga. Sangat baik. Kau kan tahu aku selalu menjaganya dengan baik. Aku akan bersiap ke sekolah. Kita sudahi saja, ya? Oh ya, mian jika aku tak bisa berbuat banyak!” putusku.
            “Ne, arayo! Hwaiting belajar, ne!” lalu memutuskan percakapan.

*****

            Bruuumm….
            Mwo? Wae? Bagaimana bisa? Eotteokke? Yah, bagaimana caraku mengantarkan Hyun Na? Apakah ada yang mengerjaiku? Tapi siapa?
            “Appa! Ban motorku kenapa bisa kempes dua-duanya? Bagaimana ceritanya bisa bocor?” rengekku pada appa.
            “Yah, itu ‘kan motormu. Appa mana tahu. Naik bus saja sana! Sepulang sekolah kau bawa ke bengkel!” jawab Appa enteng sembari menyeruput secangkir teh hangat.
            “Berarti hari ini kau tak bisa mengantarkan Hyun Na. Ah, bagaimana kalau kau yang membonceng dengan sepedanya?” celetuk eomma yang duduk di samping appa.
            “Mengapa eomma selalu menyuruhku mengantarnya? Aku ‘kan bukan tukang ojeknya.” Protesku pada eomma.
            “Ish, kau ini belum mengerti juga. Berkali-kali dibilangi, kalau kita itu tetangga. Jadi wajar kalau saling membantu. Dan terlebih kau teman sekolahnya. Apa pantas melihat dia mengendarai sepedanya sendiri? Lagipula, sekali sekali lah kau berteman dengan perempuan. Temanmu selalu laki dan anehnya kau bermain boneka. Eomma curiga, jangan-jangan anak eomma…” selidiknya padaku.
            “Eomma! Kenapa eomma curigaan? Kau tak memercayai anak lelaki paling jantanmu ini?”
            “Ani. sudah sana berangkat!” celetuknya tiba-tiba mengusir.
            “Kalian berdua ini! Ckckck… biarkanlah saja dia. Yang penting ‘kan dia tak berbuat onar.” sahut appa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Baiklah, aku berangkat sekolah dulu.” Sambil berlalu.

*****

Aku menunggu Hyun Na di depan rumahnya. Saat ia membuka pagar…
            “Mianhae! Aku tak bisa mengantarmu.”
            “Gwaenchana. Aku sudah membawa sepeda ‘kan?” jawabnya santai sambil menunjukkan sepedanya padaku.
            “Seandainya banku tidak bocor, sekarang aku bisa mengantarmu. Begini saja, biar aku yang memboncengmu dengan sepedamu, ne?” kulakukan sesuai perkataan eomma.
            “Mwo? Kau ‘kan tinggi besar. Nanti banku ikut kempes bagaimana? Ini saja sudah waktunya dipompa. Mian, aku tidak bisa. Mian lagi, aku harus berangkat dulu. Dan untukmu, mazeltov!” dia mengayuh sepedanya dan meninggalkanku sendiri. Mwo? Ada yang aneh dengannya.
            “Yah, Hyun Na! kau yang mengempeskan banku, ya?” teriakku padanya tapi dia sepertinya tak mendengarku. Tak habis pikir aku olehnya. Mengapa dia lakukan itu? Hah! Kau ingin mempermainkanku, ya! Apa sih yang ada di pikirannya?
            Aku melihat sekitarku. Tak ada kendaraan yang bisa kunaiki, setidaknya sampai halte bus. Sekarang bagaimana aku bisa sampai ke sekolah tanpa terlambat? Aku berpikir sejenak.
            Ding!
            Hahaha… evil smile terpaut di wajahku. Aku mengerti apa yang akan aku lakukan. Dan segera saja aku bertindak. Dia pikir bisa mengelabuhiku semudah itu, huh? Tidak bila denganku. Nehi!
Hyun Na POV
            Semoga dia tidak terlambat ke sekolah. Hanya itu yang bisa kulakukan untuknya. Berdoa. I’m free. Tapi bagaimana caranya? Halte bus ‘kan bisa terbilang jauh. Sudahlah, Hyun Na! Dia ‘kan lelaki, biar saja dia pakai logikanya. Aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan.
            Tuk!
            “Hyun Na! Berhenti!” ada yang berteriak memanggilku dan segera kuhentikan kayuhanku. Kutengok siapa yang memanggilku. Sepertinya aku familiar dengannya. Kulihat dia berlari menghampiriku. Kusipitkan mataku. Apa aku tidak salah lihat? Mwo? Bagaimana bisa? Kurasa aku sudah mengayuh sepedaku lebih jauh. Tapi mengapa dia bisa mengejarku? Aku ber a o a o ria melihatnya. Aku harus kagum atau heran atau takut atau… tak bisa kupercaya dia berlari 1 km mengejarku. Kuat juga dia. Pantas dia tumbuh sebesar itu. Kurasa aku harus melakukannya juga.
            “Yah, kenapa kau meninggalkanku? Wae? Aku tahu kau yang mengempeskan banku?” selidiknya sambil terengah-engah setelah berlari. Aku terkejut dibuatnya. Apa yang harus kukatakan.
            “Yah, mana mungkin. Apa aku tampak sejahat itu?” bingung apa yang harus kukatakan.
            “Sudahkah? Kau hanya ingin menanyakan itu saja ‘kan? Baiklah, aku duluan!” tambahku dan baru saja akan kukayuh tapi dia telah menarik sepedaku.
            “Yah, mau kemana kau? Melarikan diri lagi? Aku sudah berlari sejauh ini untuk mengejarmu dan sekarang kau meninggalkanku lagi?” tegasnya padaku yang langsung membuatku tertunduk padanya karena merasa bersalah.
            Dia menarik sepedaku dan dia yang memboncengku. Aku terdiam sepanjang jalan karena takut dimarahi lagi olehnya. Bagaimana tidak, muka seram itu muncul lagi. Aku lunglai dan tak berdaya menatapnya. Aku tertunduk lesu. Mianhae!
            Saat di bus, aku juga masih terdiam. Aku tak berani menatapnya. Kesalahan yang kuperbuat sepertinya belum bisa hilang dalam benakku. Mataku hanya bisa menatap ke arah bawah. Ingin sekali kukatakan, ‘mianhae!’.
            “Mianhae!” tiba-tiba kami mengucapkan itu bersamaan dan membuat seluruh penumpang bus melihat kami. Aku langsung tertunduk malu.
            Tapi mengapa kau minta maaf? Kami terdiam sejenak lagi.
            “Mianhae! Aku tak bermaksud melakukannya.” sesalku.
            “Ne, gwaenchana. Aku mengerti.” balasnya. Mengerti apa kau? Kan aku belum menjelaskan apapun?
            “Lalu mengapa tadi kau meminta maaf?” tanyaku balik padanya.
            “Mian, mungkin kau tak suka kujemput. Dan seharusnya aku bisa menolak perintah eomma.” jelasnya menyesal.
            “Perintah ahjumma?” aku terkejut mendengarnya.
            “Ne.” balasnya singkat.
            “Wah, berarti aku terikat kontrak dengan perintah eomma mu?” tanyaku.
            “Mwo? Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?” ia mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaanku.
            “Perintah ibu itu harus dilaksanakan. Dan aku tak mau kau menjadi durhaka hanya karena aku tak mau kau jemput.” terangku.
            “Hah! Kurasa kali ini kau sangat senang bila kujemput bila tahu itu perintah ibuku.” senyum yang tampak tersungging di bibirnya.
            “Ani. Sebenarnya masih ada yang mengganjal.”
            “Apa?” tanyanya penasaran.
            “Aku masih tak enak dengan pacarmu.” Mendengar jawabanku sepertinya ada yang salah. Ia selalu menertawaiku.
            “Nugu? Baby? Hahahah…” dia menertawaiku sampai terkekeh hingga membuatnya sakit perut.
            “Wae? Mengapa kau selalu tertawa? Apa aku salah? Aku tahu meskipun baby tak mungkin mencurigaiku tapi tetap saja aku tak enak padanya.” jelasku yang membuatnya masih terkekeh.
            “Yah, hentikan! Orang-orang melihatmu terkekeh lepas seperti itu membuatku khawatir. Yah!” aku melihat orang-orang dan hanya bisa tersenyum sinis pada mereka semua seakan mengatakan ‘maafkan temanku ini!’.
            “Arkh akh…” dia menghentikan tertawanya tapi ia memegangi perutnya. Sepertinya dia sakit.
            “Gwaenchanayo?” aku khawatir melihatnya yang sekarang.
            “N ne. nan gwaenchana. Auch…!” ia memegangi perutnya lagi.
            “Neo gwaenchana?” tanyaku lagi yang tak bisa berbuat apa-apa.
            Ia menarik napasnya lalu menghembuskannya kembali. Ia membuatku takut. Sekolah hampir sampai. Ada apa dengannya?
            “Yah! Gara-gara kau, aku berlari sejauh itu lalu aku mengayuh dan memboncengmu. Aku sudah lama tak berolahraga dan kau mengejutkanku dengan tingkahmu. Lucu sekali kau! Kau pikir kau siapa berani berbuat seperti itu padaku?” tatapnya dengan menginterogasiku dan membuatku memundurkan dudukku.
            “Mianhae!” aku menyesal dan menundukkan kepalaku lagi padanya.

*****

            Hampir semua pelajaran yang membutuhkan kegiatan kelompok membuatku sering berkelompok dengan Tao. Dan baru-baru ini, aku mendapat tugas kelompok Bahasa Jerman hanya berdua dengannya. Karena Frau Riri menginginkan tiap kelompok tiap bangku. Dan tugas itu dijadikan pekerjaan rumah.
            Aku ada di atap rumah lagi dan ada orang yang mengejutkanku. Ia memanggilku. Dan orang itu tak asing bagiku. Ya, dia adalah Tao.
            “Yah, Hyun Na! Sedang apa kau disana?” tanyanya agak berteriak karen kami ada di atap rumah kami masing-masing.
            “Ani. Tidak ada.” balasku singkat.
“Uhmm... bagaimana jika kita mengerjakan tugas kelompok Bahasa Jerman sekarang saja?” tawarnya bersemangat.
            “Jigeum?” tanyaku tak menyangka.
            “Ne. Wae? Kau ingin menunda pekerjaan?” jelasnya.
            “Ani.” Jawabku singkat.
            “Baiklah. Kajja! Cepat kemari!”
            “Ne.” Aku membalikkan badanku untuk turun dan ke rumahya.
            “Yah yah yah! Mau kemana kau? Disini saja. Lewat atap.” Teriaknya menarikku kembali dalam percakapan.
            “Mwo? Kau menyuruhku menyeberangi atap dan itu artinya aku ke rumahmu lewat atas? Dan yang kutahu, kamarmu ada di atas. Apa kata orang jika aku mendatangi rumah orang lewat loteng dan lagi itu di kamar namja?” pikirku cepat.
            “Ani. Aku tidak mau. Aku akan turun meminta izin eomma lalu ke rumahmu dengan membunyikan bel rumahmu. Ne? Otte! Aku turun dulu.” tambahku.
            “Pintar! Itu namanya anak gadis yang baik. Baik, aku tunggu di bawah.”
            Ting tong!
            “Ah, ahjumma! Annyeong haseyo! Taonya ada?” sapaku pada eommanya Tao.
            “Annyeong! Iya, ayo masuk! Tao sudah tidak sabar menunggumu di dalam.” Sambil mengantarku masuk ke ruang tamu.
            “Tao, kau sudah bawa motormu ke bengkel?” tanya ahjumma pada Tao yang sedang menuruni anak tangga.
            “Ah, ne eomma. Aku lupa. Lagipula aku baru pulang sekolah.”
            “Bawa ke bengkel dulu sana! Sebelum bengkelnya tutup. Cepat!” perintah ahjumma.
            “Tapi eomma! Ada Hyun Na disini. Aku mau kerja kelompok.” Sepertinya ia ingin menolak.
            “Sudah bawa dulu ke bengkel! Kurasa Hyun Na bisa menunggu. Iya ‘kan Hyun Na?” tanya ahjumma padaku.
            “Ah, ne ahjumma.” jawabku.
            “Yah, appa!” rengek Tao pada eommanya.
            “Huh! Ne. Aku berangkat. Hyun Na, kau bisa ambil laptopku di kamar untuk mengerjakan tugasnya.” Pinta Tao padaku.
            “Ah? N ne.” jawabku ragu.
            Setelah Tao pergi dari rumah...
            “Ahjumma, permisi! Dimana aku bisa mengambil laptop Tao? Yang katanya sih ada di kamar.” izinku ragu.
            “Ya di kamarnya. Di atas. Ehm... eits... chakkaman! Kau gunakan komputernya saja itu! Dia jarang sekali menggunakan komputer. Kasihan bila komputernya jarang dibuka!” sambil menunjukkan komputer yang ada di ruang santai keluarga dekat televisi.
            “Ah, ne ahjumma.” dan langsung menuju tempat duduk meja komputernya.
            “Ah, Hyun Na! Ahjumma mau keluar dulu! Sebentar saja. Tolong jaga rumah ahjumma, ya! Ahjumma, mau ke rumahmu dulu untuk menemui eommamu. Biasa eommareul arisan. Ne?” pintanya yang tak habis kupikir.
            “Ah, ne.” balasku.
            Yah, aku ditinggal sendirian di rumah yang mana bukan rumahku. Yah, appo keluarga ini! Setelah kunyalakan komputernya. Ada yang beda. Mengapa bentuknya beda dari komputer biasanya? Apa ini? Yah, kemana semua orang? Password? Bagaimana ini?
            746589O991579N9175D908251A19109-T9571-A97386P61086110011111116A865101
            Put the password below:
            _ _ _ _ _ _ _ _

>>> To Be Continued <<<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar